Salah satu tempat yang hampir tidak
pernah lepas dari kehidupan manusia adalah pasar. Pasar dalam ilmu ekonomi
adalah tempat bertemunya penjual dan pembeli. Semua rasul yang pernah diutus
oleh Allah Swt. untuk membimbing umat manusia sepanjang sejarah—termasuk Nabi
Muhammad Saw.—adalah orang-orang yang selalu “masukkeluar” pasar.
Dalam QS Al-Furqan (25): 7
dijelaskan bahwa mereka yang tidak dapat memahami dan mengerti keberadaan
Muhammad sebagai Rasulullah dalam kapasitasnya sebagai manusia biasa
berkomentar. Dan mereka berkata: Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan
di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar
malaikat itu memberi peringatan bersama-sama dengan dia?
Dalam konteks rasul-rasul sebelum
Muhammad, Allah Swt. berfirman lebih tegas: Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul
sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di
pasar-pasar. Dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain.
Maukah kamu bersabar? Dan adalah Tuhanmu itu Maha Melihat (QS Al-Furqan [25]:
20).
Melalui informasi kitab suci ini
ternyata semua rasul yang diutus oleh Allah kepada umat manusia di samping
mereka disebut sebagai manusia biasa juga adalah orang-orang yang beraktivitas
di pasar-pasar (yamsyuna fi al-aswaq).
Di antara yang paling banyak
dijadikan rujukan umat Islam dewasa ini adalah aktivitas Nabi Muhammad Saw.
yang sejak usia belia—tepatnya sekitar usia 12 tahun—telah pergi bersama
pamannya, Abu Thalib, membawa barang dagangan dari Mekah ke negeri Syam
(Suriah). Kegiatannya masuk-keluar pasar hampir tidak pernah berhenti sepanjang
hidupnya. Pada usia 17 tahun, beliau tercatat sebagai saudagar mandiri yang
bermitra dengan Khadijah, wanita pemilik modal (shahibul mal), tetapi kemudian
pada usia 25 beliau memutuskan untuk mempersunting Khadijah sebagai istrinya.
Aktivitas bisnis Muhammad sebagai saudagar sukses berlangsung hampir sepanjang
hidupnya. Dalam catatan Afzalurrahman dalam bukunya Muhammad as a Trader,
disebutkan bahwa Muhammad Saw. sebagai saudagar telah dikenal luas namanya di pelbagai
negara, seperti Yaman, Suriah, Yordania, Bahrain, dan Irak. Kesuksesan beliau
sebagai saudagar ditopang oleh etika yang dewasa ini disebut sebagai key
success factor (faktor kunci kesuksesan); yaitu al-shiddiq (benar, jujur),
al-amanah (tepercaya, kredibel), al-tabligh (komunikatif, transparan) dan
alfathanah (cerdas, profesional).
Masih dalam catatan
Afzalurrahman, mengutip riwayat yang tertera dalam Musnad Ahmad, dijelaskan
bahwa perja anan bisnis Rasulullah Saw. itu sangat dikenal oleh para
pelanggannya. Pasca-pembebasan Kota Mekah (fath al-makkah), sejumlah delegasi
dari Bahrain datang kepada beliau di bawah pimpinan al-Ashaj. Sebelum pemimpin
kabilah itu bercerita tentang maksud kedatangannya, Muhammad Saw. ternyata
bertanya terlebih dahulu berbagai hal tentang orang-orang terkemuka dalam
bisnis di Bahrain, seperti Kota Safa, Musshaqqar, dan Hijar. Al-Ashaj terkejut
dan kagum betapa luasnya pengetahuan Muhammad Saw. tentang negerinya seraya ia
berkata “Aku sangat salut dengan pengetahuan Anda. Anda lebih banyak tahu
tentang negeri kami daripada kami sendiri dan Anda lebih banyak mengenal
pasar-pasar kami daripada yang kami ketahui.” Prinsip know your costumers dalam
bisnis ternyata mampu dipraktikkan oleh Muhammad Saw.
Sebagai seorang saudagar,
Muhammad Saw. selalu “berniaga” dengan Allah. Sesibuk apa pun beliau dengan
urusan perniagaan, beliau tidak pernah lalai mengingat Allah. Beliau juga
“membawa serta” Allah ke dalam pasar. Demikian pula saudagar-saudagar lain,
semisal sahabat-sahabat di sekeliling beliau. Potret saudagar semacam inilah
yang berlangsung di “pasar-pasar Rasulullah”. Hal ini difirmankan Allah Swt.
dalam QS An-Nur (24): 37 bahwa Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan
dan tidak (pula) oleh jual-beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan
shalat dan (dari) membayarkan zakat, mereka takut pada suatu hari yang (di hari
itu) hati dan penglihatan menjadi berguncang.
Adanya penghargaan dan dukungan
firman Allah dalam ayat di atas sekaligus menyiratkan adanya perintah untuk me majukan
perniagaan sebagai aktivitas ekonomi yang bergerak pada sektor riil. Sektor
perniagaan ini diapresiasi Rasulullah Saw. dalam sabdanya, sebagaimana ditulis
Imam al-Suyuthi dalam al-Jami’ al-Shagir jilid 1 hlm. 88: “Sesungguhnya
sebaikbaik usaha adalah usaha pedagang, yaitu pedagang yang apabila mereka
berbicara tidak berdusta, diberi kepercayaan tidak berkhianat, berjanji tidak
ingkar, membeli tidak mencela, menjual tidak memuji, bila berutang tidak lalai,
dan bila berpiutang tidak menyulitkan” (HR Baihaqi).
Muhammad Saw. sangat mengerti
tabiat dan watak pasar. Beliau juga sangat paham dengan kebaikan (al-khair) dan
keburukan (al-syar) yang ada di dalam pasar. Sehingga, dalam konteks tertentu
beliau mengingatkan kepada sesama pedagang agar waspada dan berhati-hati saat
masuk pasar. Dalam konteks ini, sebagaimana disebutkan al-Suyuthi dalam bukunya
al-Jami’ al-Shagir, Rasululah bersabda bahwa “seburukburuk tempat adalah pasar”
(HR Al-Hakim).
Untuk menghindarkan sisi negatif
dari tabiat pasar, Muhammad Saw. mencoba meletakkan aturan-aturan dan etika
yang harus ditegakkan oleh pelaku-pelaku pasar. Beberapa bentuk etika bisnis
yang diajarkan beliau di pasar di antaranya adalah adil dalam takaran dan
timbangan, jujur dan transparan dalam bertransaksi, tidak melakukan jual-beli
najasy (menjual barang dengan mempergunakan jasa orang lain untuk memengaruhi
dan memuji barang dagangannya dengan purapura menawar agar orang lain
terpancing membelinya), tidak melakukan talaqqi ar-rukban (menjemput barang
dagangan ke pemiliknya di luar kota dan meletakkan harga yang tidak sesuai
dengan harga pasar untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar).
Demikian juga dengan etika untuk
tidak menjual kepada orang lain barang yang belum sempurna dimiliki, tidak
melakukan ihtikar (penimbunan barang kebutuhan masyarakat lalu menjualnya
dengan harga tinggi), tidak melakukan transaksi yang bersifat ribawi serta
menghindarkan aktivitas yang bersifat maya (gharar). Etika bisnis dalam Islam
adalah memberi kemudahan (tasamuh) baik sebagai penjual maupun pembeli sehingga
pasar terasa nyaman dan menjadi aman. Rasulullah pernah bersabda “Allah
merahmat seseorang yang memberi kemudahan ketika menjual, ketika membeli, dan
ketika melunasi” (HR Bukhari).
Memang tidak benar kalau ada yang
mengatakan bahwa pasar harus dijauhi, betapapun di dalamnya tentu terdapat sisi
negatif. Pasar itu harus dikelola sebagai katalisator hubungan transendetal
manusia dengan Tuhan. Dengan kata lain, bertransaksi di dalam pasar merupakan
ibadah seseorang dalam kehidupan ekonominya. Pelaku pasar harus mempunyai
tujuan untuk mencari rida Allah, mendapatkan keuntungan yang halal dan membawa
berkah. Oleh karena itu, mekanisme pasar harus diciptakan sedemikian rupa
sehingga tidak menimbulkan kebangkrutan dan kerugian kepada diri sendiri dan
orang lain.
Pasar memang harus diawasi.
Secara individu manusia memerlukan pengawasan. Titik lemah yang sering
mencelakakan manusia adalah kerakusan. Dalam sebuah riwayat yang populer dan
dilaporkan oleh Imam al-Bukhari, Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Jika seorang
anak Adam (manusia) telah dikaruniai emas satu lembah, niscaya dia akan
menginginkan yang kedua. Apabila telah memilki dua lembah emas, dia menginginkan
yang ketiga. Dia tidak akan pernah berhenti untuk mendapatkan keinginannya,
kecuali setelah mulutnya penuh disumpal tanah” (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, dan
Tirmidzi).
Kerakusan dan keserakahan
merupakan karakter negatif manusia yang melelahkan dan membinasakan. Sulit
menjelaskan dewasa ini, masih ada orang yang terjebak dengan kelemahan dirinya,
menumpuk harta melebihi pertimbangan akal sehat. Padahal, sejak semula Allah
telah berfirman, Upaya memperbanyak harta telah membuat kamu lalai, sehingga kamu
masuk ke dalam kubur. Hati-hatilah kelak kamu akan mengetahui (akibat
perbuatanmu itu). Dan hati-hatilah (niscaya) kelak kamu akan mengetahui (QS
At-Takatsur [102]: 1–4).
Senada dengan peringatan itu,
dalam QS Al-Humazah (104): 1–4, sanksi Allah dipertegas lagi, Celakalah bagi
setiap pengumpat dan pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya,
dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak!
Sesungguhnya dia benarbenar akan dilemparkan ke dalam (neraka) Hutamah.
Akibat dari sifat lemah manusia
itulah, tidak jarang ditemukan orang yang bekerja demi tujuan mengeruk harta
dengan menghalalkan segala cara. Dan sebagai imbasnya, tidak jarang pula
menimbulkan krisis pada semua sektor kehidupan. Meskipun Muhammad Saw. tidak lagi
secara langsung beraktivitas sebagai “pedagang dan pengusaha” setelah menjabat
kepala pemerintahan di Madinah, beliau tetap turun ke pasar-pasar memperhatikan
dan mengawasi kegiatan pasar.
Pada suatu ketika, di sebuah
pasar di pinggir jalan, beliau menemukan seorang pedagang yang sedang menjual
setumpuk kurma. Tiba-tiba beliau memasukkan tangannya ke bawah tumpukan kurma
itu. Setelah menarik tangannya, lalu beliau bertanya “Kenapa kurma ini basah?”
Si pedagang serta-merta menjawab dengan penuh ketakutan, “Ditimpa hujan, ya,
Rasulullah.” Beliau lalu mengusut, “Kalau benar ditimpa hujan kenapa yang basah
bagian bawahnya, sementara yang di atas kering?” Pada akhirnya Rasulullah
menegaskan, “Barang siapa di antara kalian yang melakukan kecurangan dan penipuan,
maka dia tidak termasuk dalam golongan kami” (HR Muslim).
Dewasa ini, dalam menghadapi
perilaku ekonomi di pasar-pasar dengan segala macam dan tingkatannya, agaknya praktik
bisnis Rasulullah pantas dijadikan tuntunan kita bersama. Kita perlu
mengamalkan doa dan permohonan Rasulullah ketika memasuki pasar: “Bismillah, Ya
Allah, aku meminta kepada-Mu segala kebaikan (al-khair) pasar ini dan semua
kebaikan yang ada di dalamnya, dan aku berlindung kepadaMu dari segala
keburukannya (al-syar) dan keburukan yang menyelimutinya (Allahumma inni
asaluka min khairi hadzihi al-suqi wa khairi ma fiha wa a’udzubika min syarriha
wa syarri ma fiha).
Tulisan Mustafa yang termuat dalam
buku ini banyak terkait dengan pasar, baik pasar yang bersifat sederhana
(seperti pasar di pinggir jalan) maupun pasar dalam artian luas (seperti pasar
perbankan dan pasar global). Kehadiran buku ini menekankan pentingnya aspek
moral dan etika bisnis dalam setiap transaksi ekonomi. Saya sependapat dengan
penulis buku ini bahwa ekonomi syariah yang sedang berkembang dewasa ini tidak
hanya berkaitan dengan aktivitas ekonomi di lembaga perbankan, asuransi, dan
lembaga keuangan lainnya yang berlabel syariah, tetapi seyogianya ekonomi
syariah juga hadir dalam setiap transaksi dalam dunia bisnis sehingga dapat
terciptalah kondisi ekonomi yang nyaman dalam kehidupan kita. Aspek inilah yang
terkadang sering terlupakan.
Dengan bahasa yang lugas dan renyah, buku ini disajikan kepada pembaca, tempat penulis tidak hanya memperbincangkan aktivitas ekonomi secara sederhana, tetapi juga perkembangan ekonomi dunia secara luas. Pantas kiranya bila buku ini dapat menjadi bahan telaah sekaligus referensi yang bersifat reflektif dalam perjalanan ekonomi Islam di negeri kita. Sebagai guru dan “orang tua” penulis, saya mengucapkan syukur kepada Allah Swt. sekaligus rasa bangga dan sukses buat Ananda atas penerbitan buku ini, semoga nilai-nilai ekonomi Islam semakin membumi di bumi persada nusantara. Amin.
ISI BUKU |
||
PENGANTAR |
|
|
|
Pasar dan Etika Bisnis -- Prof. Dr. H. Amiur Nuruddin, M.A. |
ix |
|
Ekonomi Islam Itu Ekonomi Kerakyatan -- Prof. Dr. Uswatun Hasanah, M.A. |
xvii |
|
Pengantar Penulis |
xxiii |
|
Prolog |
1 |
Revolusi Ekonomi Rasulullah Saw. |
19 |
|
|
Meneladani
Muhammad Saw., Sang Ekonom |
20 |
|
Semangat
Revolusi Ekonomi Maulid Nabi Muhammad Saw. |
27 |
|
Revolusi
Ekonomi Rasulullah Saw. ala Piagam Madinah |
34 |
|
Menangkap
Pesan Entrepreneur Hijrah Rasulullah Saw. |
42 |
Ekonomi Islam Adalah Ekonomi Akhlak |
49 |
|
|
Akhlak
Dulu, Baru (Berekonomi) Syariah |
50 |
|
Larangan
Rasulullah Saw. terhadap Menimbun Barang |
57 |
|
Bisnis
Bukan Hanya Untung-Rugi |
63 |
|
Sistem
Akhlak Ekonomi Syariah |
72 |
Ekonomi Antiriba |
79 |
|
|
Riba
dalam Perspektif Agama-Agama |
80 |
|
Bunga
Bank: Ribakah ? |
85 |
|
Utang
Riba atau Utang Produktif |
97 |
|
Menakar
Dampak Fatwa Haram Bunga Bank |
105 |
Strategi Rasulullah Menghadapi Krisis |
113 |
|
|
Cara
Rasulullah Saw. Menghadapi Krisis Ekonom |
114 |
|
Ekonomi
Kapitalis: Menunggu Keruntuhan |
125 |
|
Membangun
Optimisme Ekonomi |
131 |
|
Indonesia,
Pusat Ekonomi (Syariah) Dunia |
137 |
|
Kebijakan
Ekonomi dalam Menghadapi Krisis |
146 |
Ekonomi Syariah versus Ekonomi Liberal |
153 |
|
|
Ekonomi
Tengah ala Umar bin Khattab |
154 |
|
Mengukuhkan
Ekonomi Syariah |
161 |
|
Ekonomi
Syariah dalam Pusaran Liberalisme |
165 |
|
Ekonomi
Syariah Pilihan Sistem Ekonomi Dunia |
172 |
|
Menghapus
Monopoli: Belajar dari Kebijakan Madinah |
180 |
Etika Bisnis dalam Mengelola
Perusahaan |
187 |
|
|
Etika
Bisnis di Perbankan |
188 |
|
Larangan
Gharar: Mewaspadai Transaksi Derivatif |
196 |
|
Kartel
dalam Bisnis: Larangan Tegas Rasulullah Saw. |
202 |
|
Berikhtiar
dalam Bisnis: Bukan Makan Gaji Buta dari MLM |
209 |
Kemiskinan dan Pemberdayaan Ekonomi
Rakyat |
217 |
|
|
Solusi
Al-Quran Mengentaskan Kemiskinan |
218 |
|
Menumbuhkan
Sektor Riil dan Investasi Syariah |
225 |
|
Carrefour
vs Pedagang Kaki Lima |
231 |
|
Membela
Pasar Tradisiona |
237 |
|
Pasar
Modern dan Pasar Tradisional dalam Islam |
243 |
DAFTAR BACAAN |
249 |
|
TENTANG PENULIS |
255 |
No comments:
Post a Comment