Banyak ilmuwan Muslim
mengatakan kepada kita bahwa sains-sains modern membantu mereka melihat
keajaiban-keajaiban ciptaan Tuhan, dan jelas ini argumen untuk mengutamakan
ilmu-ilmu alam di atas ilmu-ilmu sosial. Namun, apakah penting mempelajari
fisika atau biokimia guna menyaksikan tanda-tanda Tuhan dalam semua makhlukNya?
Al-Qur’an terus menerus mengatakan kepada kaum muslim, “Apakah engkau tidak
merenungkan, tidakkah engkau memikirkan, tidakkah engkau berpikir?” tentang
tanda-tanda yang ditemukan, seperti dalam lebih dua ratus ayat al-Qur’an yang
mengingatkan kita, dalam segala hal, terutama gejala-gejala alam. Tak perlu
ilmuwan besar, ataupun ilmuwan apa saja, untuk memahami bahwa dunia berbicara
lantang tentang keagungan Sang Penciptanya.
Willian C. Cittick
menuliskan bahwa bahaya terbesar dari perlawanan terhadap yang sedimikian umum
di kalangan Muslim modern adalah mereka menerima tuhan-tuhan kebaruan tanpa
memberikan pemikiran atas apa yang tengah mereka pikirkan. Mereka ingin
menetapkan identitas kemusliman mereka, tetapi mereka membayangkan bahwa untuk
melakukan hal ini, cukuplah untuk bersumpah setia mereka pada al-Qur’an dan
sunnah dan mengabaikan para penafsirnya.
Berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan berikut: Apakah mungkin untuk menjadi seorang ilmuwan dan seorang Muslim sekaligus menjelaskan dan memahami kosmos dan jiwa sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Qur’an dan sunnah ? (h.9); Apa sebenarnya batas potensi jiwa? (h.112); Dapatkah kita tahu makna dari alam semesta dan objek apapun di dalamnya tanpa mengetahui al-Ḥaqq (the Real)? (h.129). Jika pertanyaan-pertanyaan ini yang muncul dalam pikiran kita, maka karya William Chittick ini layak dibaca.
Sebuah buku yang pendek namun padat yang ditulis oleh William Chittick, seorang pakar islam dari Barat yang telah menghabiskan empat dasawarsa dalam studi Islam, khususnya tradisi filsafat dan sufi, dapat dikatakan mampu menghidupkan kembali studi kontemplatif terhadap intelektual islam saat ini, yang memungkinkan para penasehat intelektualnya (Rumi, Ibn ‘Arabi, Mulla Sadra, Ibnu Sina dan al-Ghazali) berbicara tentang wawasan mereka yang relevan dengan konteks modern, terutama peran yang dimainkan oleh ilmu pengetahuan dalam Zeitgeist kontemporer (viii). Latar belakang intelektual dari apa yang telah ia tuliskan adalah menghilangnya institusi pendidikan tradisional yang cenderung mengarahkan muridnya untuk mendedikasikan hidup mereka bagi pencarian pengetahuan dan kebajikan. Chittick sendiri memilih judul “Ilmu Kosmos, Ilmu Jiwa”, justru menyoroti ilmu pengetahuan dan pada saat yang sama membawa istilah “jiwa”, sebagai pusat dari tradisi filsafat (ix).
Di jantung buku ini terdiri dari tujuh bab, semua kecuali satu dari yang awalnya menjadi premis dasar dari Chittick adalah apa yang disepakati oleh pembelajaran intelektual dan pembelajaran transmisi, yakni Allah adalah satu, dan Dia adalah asal dari segala sesuatu. Inilah Tauhid. Yang menjadi pengamatan utamanya adalah bahwa tradisi intelektual saat ini tidak sama dengan tradisi intelektual terdahulu, dan ini memberi sesuatu untuk ditawarkan. (h. 8-9). Hal ini dibandingkan dengan dunia Islam pramodern, ketika pemikir besar dan kaum intelek menghabiskan seluruh hidup mereka mencari pengetahuan yang lebih dalam tentang Tuhan, alam semesta dan jiwa. Dan pencarian itu menjadi tugas yang tak pernah berakhir. Jadi, untuk mendapatkan kekayaan dari warisan intelektual kita harus mempersiapkan diri untuk memahami, dan olehnya menuntut sebuah upaya pencarian dan pelatihan. Seseorang tidak dapat menerima tauhid begitu saja yang berdasarkan imitasi, sebab Iman sejati tidak pernah menjadi keyakinan buta, melainkan komitmen dengan apa yang benar-benar seseorang ketahui adalah benar. Melalui karyanya, Chittick menyarankan bahwa untuk pulih atau bangkit dari apa yang ia sebut sebagai “kebodohan ganda” adalah mengakui bahwa Anda tidak tahu, sehingga Anda dapat beranjak “mencari ilmu”.(h.19)
Pada empat Bab pertama, seseorang dapat menemukan diagnosa yang tajam dan jelas tentang kaum Muslim kontemporer jika ingin muncul sebagai cendekiawan yang obyektif. Chittick pun demikian dan bertanya-tanya: apa yang salah? Tradisi intelektual sangat penting untuk kelangsungan hidup agama, karena sesorang tidak bisa memikirkan Islam tanpa secara bersamaan memahami perintah al-Qur’an yang menuntut seorang Muslim untuk selalu berpikir, merenung, dan merenungkan. Tugas pertamanya menurut Chittick adalah untuk mengidentifikasi dua mode mengetahui dalam tradisi Islam, sebagai “transmisi” (taqlid) dan “intelektual” (taḥqīq).
Jika yang pertama bersifat diiturunkan dari generasi ke generasi, maka yang terakhir adalah dipelajari dengan melatih pikiran dan membersihkan hati. Chittick berpendapat bahwa mode taqlid sering disalah mengertikan oleh Muslim dan non-Muslim. Baginya, ilmu pengetahuan modern memang dibangun atas konsensus, bukan pengetahuan intelektual. (h.21). Selain itu, ia berpendapat bahwa kebenaran pembelajaran yang ditransmisikan tidak bergantung pada pembuktian dengan dirinya (self evident), tetapi lebih pada otoritas nabinya dan para keberadaan penerusnya. Dan bagi ilmuwan modern yang membuat penemuan baru, yang telah “membenarkan” dan “merealisasikan” ilmu untuk dirinya sendiri, tidak akan disebut realisasi (taḥqīq) oleh para intelektual muslim karena tidak cukup meluas masuk ke kedalaman jiwa dan ruh untuk mengenali sifat sesungguhnya dari sesuatu. Pengetahuan intelektual, justru adalah kunci tradisi intelektual Islam. Hal ini diperoleh oleh subjek yang mengetahui secara langsung.
Meskipun mungkin dalam pencariannya memerlukan guru, tetap pengetahuan ini akhirnya tidak tergantung pada otoritas guru untuk verifikasi dan keberadaan eksistensinya, melainkan berada di hati dan pikiran orang yang berpengetahuan atau pencari itu sendiri. Ini adalah temuan, bukan untuk mengumpulkan informasi atau apa yang kita sebut “fakta”. Sebab semakin banyak fakta yang mereka ketahui, semakin sedikit signifikansi yang mereka dapatkan dari fakta tersebut dan juga hakekat diri mereka sendiri dan dunia di sekitar mereka.
Tentang hal ini, Chittick mengutip ungkapan Ibn Yaqzan (c.1775) :
“Pencarian ilmu
yang diwajibkan oleh Nabi kepada setiap mukmin, bukannya pencarian informasi
atau sekedar “hidup yang lebih baik”. Tetapi, pencarian makna dan pemahaman
Qur’an dan hadis, yang melalui pemahaman tersebut merupakan pengetahuan diri,
kesadaran diri dan mengenal tanda-tanda Tuhan di ufuk (alam eksternal) dan
dalam diri. Hal ini merupakan pencarian hikmah dan penguasaan diri, bukannya
kontrol dan manipulasi atas dunia dan masyarakat” (h.30)
Adapun Realisasi yang dimaksud memiliki empat domain: Metafisika (Allah sebagai realitas awal dan akhir), kosmologi (penampilan dan peniadaan alam semesta), psikologi (apa artinya menjadi manusia) dan etika (kebijaksanaan praktis dan hubungan antar individu). Dan pusat dari domain tersebut adalah diri (nafs) atau jiwa. Dengan demikian, pengetahuan yang ditransmisikan harus berjalan seiring dengan pengetahuan intelektual. Dalam pengertian ini, intelek adalah jiwa yang telah mengetahui dan menyadari potensi penuhnya (h.29). Chittick juga menyebutkan 10 poin yang dapat membantu kita memahami apa yang coba di verifikasi, direalisasikan oleh para intelektual Muslim pramodern (h.27).
Islam dapat didefinisikan dalam satu kata: Tauhid. Dan karena tauhid pada dasarnya adalah pemikiran, banyak buku yang menjadikan konsep ini sangat penting. Tidak diragukan lagi, mengapa Chittick bersikeras terhadap pentingnya rehabilitasi pemikiran, karena ini berarti bahwa tradisi intelektual Islam sedang menderita penyakit serius (h.42). Sebuah review singkat tidak bisa memberikan keadilan untuk argumen penulis yang disajikan dalam tujuh bab. Tapi untuk meringkas, bahwa empat bab pertama juga mendefinisikan apa bentuk pengetahuan “intelektual” yang ada dalam Islam, terutama dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu yang ditransmisikan dalam teks-teks filosofis dan Sufi.
Karya ini diperkaya oleh beberapa ulama terkemuka seperti Seyyed Hossein Nasr, yang berbagi perhatian dengan penulis mengenai hilangnya pandangan dunia Islam tradisional, Allama Iqbal, Muhammad Arkoun dan penyair sufi, Rumi. Chittick mengutip penyair besar Persia, yang dia anggap sebagai guru sejati dari tradisi intelektual, mengingatkan kita pada keutamaan pikiran:
Saudaraku, kamu adalah pikiran itu.
Sebagian dari kamu hanyalah tulang dan serat.
Jika mawar adalah pikiran kamu, maka kamu
adalah kebun mawar,
jika duri, maka kamu adalah bahan bakar
tungku.
Jika air mawar, kamu akan diusapkan pada
leher,
jika urin, maka kamu akan dibuang ke
pembuangan.
Melalui pikiran, kemudian, berkesesuaian dengan roh ilahi yang
terletak pada inti kesadaran manusia. Ini adalah untuk memahami segala sesuatu
sebagaimana adanya, senada dengan ungkapan hadis: Allahumma ‘ārinil asyā’a kama
hiya (Tuhan, tunjukkan aku segala sesuatu sebagaimana adanya). Seperti
disebutkan sebelumnya tentang empat domain utama dari intelektual Muslim,
mereka terfokus pada kosmologi menyerupai apa yang kita sebut saat ini sebagai
“ilmu pengetahuan” (science). Di sini, semakin seseorang memberi perhatian pada
dunia luar -domain kosmologi- ia akan memperoleh wawasan lebih tentang dunia
internal, domain psikologi spiritual. Keduanya dipelajari untuk memahami jiwa
manusia. Tapi, apa yang menjadi jelas dalam dua alam ini adalah keterkaitannya
dengan pencarian intelektual. Sebuah kritik terhadap dogmatisme dan ideologi
adalah langkah yang diperlukan untuk memulihkan pemahaman yang tepat tentang
sifat manusia, dan ini beralasan.
Tiga pasal terakhir memberi perhatian lebih pada ajaran praktis
yang sebenarnya dari tradisi intelektual, berfokus pada relevansinya dengan
pertanyaan kontemporer dan makna dari ilmu pengetahuan. Bersama dengan tokoh
Muslim terkenal masa lalu yang disebutkan di atas, Chittick mengkritisi taqlīd
dengan mentalitas dogmatis dalam mempertanyakan sebuah pemahaman, sembari
memberikan keutamaan peran tahqīq, yang hanya melaluinya tauhid dapat dipahami.
Baginya, satu-satunya cara untuk memahami sesuatu adalah menemukannya melalui
diri sendiri, meskipun seseorang memerlukan bantuan orang-orang yang sudah
tahu. Selain itu, bagi Chittick, mengapa saintisme pada dasarnya palsu adalah
karena sarat dengan praduganya, meniadakan tauhid dan menegaskan takthīr
(perbedaan). Pada karyanya yang lain, Chittick mensyinalir pernyataan serupa
bahwa jika manusia mulai mengklaim bahwa “ilmu ilmiah” (scientific knowledge)
adalah yang paling sah, maka kita tidak lagi berhubungan dengan ilmu, melainkan
hanya berhubungan dengan saintisme.
Jika tauhid menegaskan Keesaan Tuhan, sebaliknya takhtīr
menegaskan pluralitas. Takthīr tanpa tauhid tidak bisa memberikan visi
penyatuan. Ini akan menyangkal secara implisit bahwa keberadaan memiliki
tujuan, sehingga ia juga menolak gagasan bahwa aspirasi manusia untuk mencapai
perbaikan moral dan etika dan menjadi sempurna secara intelektual dan spiritual
yang memiliki landasan dalam realitas objektif (h.46-47).
Hasil bersihnya adalah penyebaran pengetahuan manusia, pertumbuhan
disiplin ilmiah dan akademik, multiplisitas tujuan manusia, ketidaksepakatan
yang berlangsung terus menerus, perselisihan, disintegrasi dan korupsi.
Meskipun kaum muslim tidak melihat takthīr sebagai buruk semata, namun manusia
harus bisa keluar dari kebiasaan tersebut, menuju tauhid yang damai, imbang,
harmonis dan damai di dunia.
Akibatnya, semakin kita menekankan takthīr, semakin sedikit peran
kita sebagai manusia yang akan muncul untuk bermain dalam kosmos. Sebagai
catatan Chittick, para ilmuwan mengasumsikan kesatuan alam yang paralel dengan
makna spiritual dari tauhid, namun perbedaan utama adalah bahwa metode ilmiah
tidak menerima realisasi diri oleh seorang individu sebagai bukti yang cukup
untuk realitas fenomena.
Sebaliknya, jika kita menempatkan keutamaan pada tauhid sebagai
penjelasan dari realitas, maka karya ini akan menjadi bacaan yang menyegarkan,
dan juga menjawab pertanyaan yang disebutkan sebelumnya bahwa dalam tradisi
intelektual, tidak ada batas bagi potensi jiwa, karena tidak ada keberadaan
yang tidak diketahui oleh jiwa. Para filsuf berulang kali menyebut jiwa manusia
“intelek potensial” (aql bi’l quwwa) atau “intelek hylic” (‘aql hayūlāni). Dan
mereka juga menyebut aktualisasi intelek dengan istilah Qur’an “pembebasan”
(najāt) atau ‘kebahagiaan’ (sa’ādah). Tu Weiming, seorang filsuf Cina
kontemporer mengatakan hal senada, “Pembebasan berarti realisasi penuh dari
realitas antropokosmik yang inheren dalam diri kita”. Dengan kata lain,
sebagaimana adagium yang sangat terkenal, “mengetahui adalah menjadi”. Oleh
karena itu, tujuan dari pembelajaran adalah untuk mengetahui segala sesuatu
yang mungkin bisa diketahui. Jika kita tidak mencari pemahaman dengan cara yang
benar, maka tujuan akan tetap selamanya tak terjangkau.
Hanya saat mencapai aktualitas pengetahuan dalam inti terdalam
eksistensinya itulah, dapat dikatakan sebagai intelek dalam arti kata yang
paling tepat. Secara epistemologis, ini berarti bahwa kedirian manusia yang
sejati tidak dapat menjadi obyek pengetahuan yang ditransmisikan, melainkan
dengan pengetahuan tanpa perantara atau langsung. Melanjutkan pertanyaan
tentang pencarian makna, bahwa makna yang sesungguhnya tidak pernah bisa
ditangkap oleh dogma, teori, teorema atau bangunan mental lainnya, tetapi
melalui realisasi tauhid bagi diri sendiri dan dalam diri sendiri. Hal ini
menunjukkan seberapa kuat Chittick mencoba untuk tetap mengingatkan inti
kepercayaan tradisional agama.
ISI BUKU |
||
Pengantar |
ix |
|
1. |
Musnahnya Sebuah Warisan |
1 |
|
Ijtihad |
4 |
|
Peran Tradisi
Intelektual |
6 |
|
Situasi
Sekarang |
11 |
|
Tuhan-Tuhan Modernitas |
16 |
|
Tujuan Pemahaman Intelektual |
22 |
|
Penolakan Tradisi |
25 |
2. |
Pengetahuan Intelektual |
29 |
|
Pengetahuan yang Dapat Diverifikasi |
32 |
|
Intelek |
37 |
|
Temuan-Temuan
Dasar |
39 |
|
Peziarah dari
Masa Lalu |
43 |
3. |
Rehabilitasi Pemikiran |
51 |
|
Pemikiran |
53 |
|
Tradisi Intelektual |
58 |
|
Taqlid dan Tahqiq |
60 |
|
Sains Pramodern |
62 |
|
Dominasi Taksir |
68 |
|
Tujuan Pemikiran |
73 |
4. |
Di Balik Ideologi |
77 |
|
Kehadiran Penukilan di Mana-Mana |
78 |
|
Memecahkan Cangkang Dogmatisme |
80 |
|
Menegaskan Kemutlakan |
85 |
|
Imajinasi Mitis |
90 |
|
Memahami Diri |
96 |
5. |
Manusia Gaib |
99 |
|
Tasawuf |
106 |
|
Kosmos dan Jiwa |
110 |
|
Menamai Realitas |
112 |
|
Satu dan Banyak |
122 |
|
Alam yang Hidup |
125 |
|
Sains Islam |
127 |
|
Keefektifan Nama-Nama (Asma’) |
130 |
|
Nama-Nama yang Tak Memadai |
133 |
|
Mitos Orang-Orang Gaib |
137 |
6. |
Visi Antropokosmis |
149 |
|
Pengetahuan Ahistoris dan Historis |
151 |
|
Pencarian Filosofis |
155 |
|
Metodologi Tahqiq |
161 |
|
Memahami Jiwa |
165 |
|
Asal dan Kembali |
170 |
|
Kemahatahuan (Yang Serba Mengetahui) |
175 |
7. |
Pencarian Makna |
181 |
|
Dua Modus Pengetahuan |
183 |
|
Subjek dan Objek |
185 |
|
Pandangan Dunia |
187 |
|
Diri |
193 |
|
Makna |
197 |
Catatan-catatan |
205 |
|
Indeks |
209 |
No comments:
Post a Comment