Islam senantiasa unggul, dan ia
tidak akan terungguli. Itulah kata-kata sarat makna yang berabad-abad lalu
dilontarkan oleh lisan suci Sang Nabi. Itulah semacam puisi yang kemudian
menggerakkan revolusi kebanggaan diri, hingga mengantarkan Islam pada kejayaan
tertinggi dan masa keemasan paling tak tertandingi. Akan tetapi, di lain sisi,
katakata itu pula yang kemudian meninabobokan umat Islam dalam buaian
janji-janji. Mereka terbang ke awang-awang, lalu kelengahan menjatuhkan mereka
ke kedalaman. Kenyataan pun menjadi berbalik; Islam menjadi yu’lâ ‘alaih, tak pernah lagi ya’lû. Tak ayal, generasi muslim dewasa
ini hanya melihat kata-kata itu tiada lain sebatas jargon yang jauh panggang
dari api.
Jadi, ada apa dengan Islam?
Apakah Islam sudah tidak layak lagi bagi zaman modern ini? Jika ia layak, tentu
Islam akan mengungguli yang lainnya. Akan tetapi, tidak! Kenyataan berbicara
sebaliknya. Sekarang, Islam dan pemeluknya masih saja berkutat dengan
berjubelnya permasalahan dan kemunduran; kemiskinan, kebodohan, pengangguran,
kesemerawutan, dan ketertinggalan di segala bidang. Mengapa bisa demikian? Apa
yang salah dengan agama yang kita anut ini?
Ulama segera mendengar
kegelisahan umat. Mereka pun sibuk menjawab dengan analisis masing-masing. Ada
yang mengusulkan ini, ada yang mengusulkan itu. Ada yang mengecam pihak-pihak
tertentu dan menciptakan kambing hitam, ada yang menelisik kesalahan-kesalahan
kaum muslim sendiri sembari menawarkan solusi. Lalu, muncullah firqoh dan
golongan. Terpecah-pecahlah umat Islam menjadi banyak sekte dan aliran. Sejarah
mencatat, sikap kaum muslimin terhadap kemunduran peradaban Islam—dan khususnya
terhadap hegemoni peradaban Barat—telah menjadi pemicu munculnya banyak sekte,
setelah beberapa dekade sebelumnya, perpecahan politiklah yang memicu munculnya
firqoh dan sekte yang lain.
Dari berbagai macam firqoh yang
ada, setidaknya dapat ditarik menjadi dua kutub besar yang sering kali saling
berhadap-hadapan: Islam puritan dan Islam moderat. Yang menarik, kaum
puritan—yang sering kali mengklaim diri sebagai modernis—sangat berambisi untuk
“menyelamatkan” umat muslim dari “ketersesatan” dengan kembali pada tradisi
kenabian. Mereka giat melakukan propaganda agar umat Islam kembali menjadikan
Nabi Muhammad sebagai panutan. Mereka mengecam taklid terhadap madzhab dan
mengajak umat kepada sumber pokok hukum Islam: Al-Qur’an dan hadits.
Yang menjadi kegelisahan kemudian
adalah ketika Al-Qur’an dan hadits digunakan dengan serampangan dan membabi
buta, sedangkan perbuatan meniru nabi dan para sahabat dilakukan dengan letterlijk dan tanpa ukuran. Tak heran
jika mereka lebih senang memanjangkan jenggot daripada meneliti sikap
keseharian dan akhlak nabi, atau sikap toleran dan penghormatan nabi kepada orang
yang berbeda pendapat maupun keyakinan. Dan, kalaupun usaha-usaha yang lebih
serius tersebut dilakukan, kerap kali—sekali lagi—mereka terjebak dalam
kungkungan teks-teks turâts yang mati, tidak menafsirkannya dengan konteks yang
ada. Atau terpenjara dalam kotak-kotak shahîh
dan dha’if, hasan, dan maudhu’.
Sementara itu, di antara kalangan
muslim moderat, terdapat kecenderungan lain yang tak kalah menggelisahkan.
Yakni, munculnya pemikir-pemikir bebas yang kadang terkesan asal-asalan, hanya
mencari sensasi, asal berbeda dengan status quo, atau terkesan tanpa dasar
pengetahuan yang kuat.
Terlepas dari perdebatan dua kubu
tersebut, buku ini ingin mengajukan gagasan yang mungkin selama ini luput dari
perhatian kita semua. Yakni, tentang cara pikir nabi. Bagaimanakah cara nabi
berpikir sehingga ia dapat memberikan jawaban yang berbeda untuk pertanyaan
yang sama ketika pertanyaan tersebut dilemparkan oleh dua orang yang berbeda
karakter? Bagaimana jalan pikir nabi sehingga suatu kali ia bersabda begini dan
di kali lain bersabda begitu? Bagaimana ide-ide cemerlang meloncat dalam
pikiran nabi sedemikian hingga dalam waktu kurang dari seperempat abad sudah
berhasil meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi kecemerlangan peradaban Islam?
Bagaimanakah cara nabi berpikir sehingga pikirannya tidak kebablasan dan
menjadi kufur, misalnya?
Mungkin sebagian pembaca
bertanya, apa benar nabi berpikir? Bukankah nabi selalu mendapatkan bisikan
gaib dari Tuhannya? Bukankah kata-kata yang diucapkan oleh nabi
merepresentasikan wahyu yang diterimanya? Tentu saja, Fauz Noor—penulis buku
ini—telah menjawab pertanyaan-pertanyaan itu terlebih dahulu sebelum menguraikan
panjang lebar bagaimana cara berpikir seperti nabi.
ISI BUKU |
||
Pengantar
Redaksi |
ix |
|
Pilahir Anu
Sineulir |
xiii |
|
Daftar Isi |
xxv |
|
Isyarat Nabi dan Doktrin Penciptaan |
1 |
|
|
Rasul pun
Menangis |
4 |
|
Doktrin Penciptaan |
7 |
|
Penciptaan dalam Pencarian |
13 |
|
Menangkap
Isyarat: Sedikit Pembicaraan tentang “Tanda” |
32 |
Mengapa Kita Mengimani dan Meneladani Nabi |
55 |
|
|
Iman Kepada Nabi? |
59 |
|
Muhammad Utusan Tuhan |
86 |
|
Shalawat (Kepada) Nabi |
95 |
Risalah: Dari Adam sampai Muhammad |
109 |
|
|
Nabi dan Rasul |
112 |
|
Risalah-Nya |
119 |
|
Wahyu dan Manusia |
137 |
|
Syari’at-Nya |
156 |
|
Tauhid: Satu Tugas Mendesak |
169 |
Muhammad: Penutup Para Nabi |
195 |
|
|
Muhammad Nabi Pamungkas |
200 |
Dari Mukjizat Kembali ke Ayat |
241 |
|
|
Hisiyyah dan ‘Aqliyyah |
244 |
|
Al-Qur’an: Mukjizat, Sihir, atau
Âyah? |
270 |
Sunnah Nabi dalam Berpikir |
293 |
|
|
Tentang-Nya: Berguru Kepada Para
Nabi |
298 |
|
Antara Hadits dan Sunnah Nabi |
326 |
|
Sunnah dalam Berpikir |
349 |
|
Ijtihad: Bahasa Sunnah Nabi |
361 |
Perjalanan Menuju Kepasrahan: Mencari Filsafat Qur’ani |
375 |
|
|
Pertemuan Dunia Islam dengan
Filsafat: Pro dan Kontra |
390 |
|
Dari ‘Itibar ke Hikmah |
420 |
|
Perjalanan menuju Kepasrahan:
Filsafat Qur’ani |
439 |
|
Khulashah |
465 |
Penutup |
479 |
|
Daftar Pustaka |
481 |
|
Indeks |
497 |
|
Biodata Penulis |
507 |
BUKU-BUKU ISLAM LAINNYA TENTANG PEMIKIRAN KRITIS ISLAM :
No comments:
Post a Comment