BERPIKIR SEPERTI NABI : PERJALANAN MENUJU KEPASRAHAN – FAUZ NOOR

BERPIKIR SEPERTI NABI : PERJALANAN MENUJU KEPASRAHAN – FAUZ NOOR

Islam senantiasa unggul, dan ia tidak akan terungguli. Itulah kata-kata sarat makna yang berabad-abad lalu dilontarkan oleh lisan suci Sang Nabi. Itulah semacam puisi yang kemudian menggerakkan revolusi kebanggaan diri, hingga mengantarkan Islam pada kejayaan tertinggi dan masa keemasan paling tak tertandingi. Akan tetapi, di lain sisi, katakata itu pula yang kemudian meninabobokan umat Islam dalam buaian janji-janji. Mereka terbang ke awang-awang, lalu kelengahan menjatuhkan mereka ke kedalaman. Kenyataan pun menjadi berbalik; Islam menjadi yu’lâ ‘alaih, tak pernah lagi ya’lû. Tak ayal, generasi muslim dewasa ini hanya melihat kata-kata itu tiada lain sebatas jargon yang jauh panggang dari api.

Jadi, ada apa dengan Islam? Apakah Islam sudah tidak layak lagi bagi zaman modern ini? Jika ia layak, tentu Islam akan mengungguli yang lainnya. Akan tetapi, tidak! Kenyataan berbicara sebaliknya. Sekarang, Islam dan pemeluknya masih saja berkutat dengan berjubelnya permasalahan dan kemunduran; kemiskinan, kebodohan, pengangguran, kesemerawutan, dan ketertinggalan di segala bidang. Mengapa bisa demikian? Apa yang salah dengan agama yang kita anut ini?

Ulama segera mendengar kegelisahan umat. Mereka pun sibuk menjawab dengan analisis masing-masing. Ada yang mengusulkan ini, ada yang mengusulkan itu. Ada yang mengecam pihak-pihak tertentu dan menciptakan kambing hitam, ada yang menelisik kesalahan-kesalahan kaum muslim sendiri sembari menawarkan solusi. Lalu, muncullah firqoh dan golongan. Terpecah-pecahlah umat Islam menjadi banyak sekte dan aliran. Sejarah mencatat, sikap kaum muslimin terhadap kemunduran peradaban Islam—dan khususnya terhadap hegemoni peradaban Barat—telah menjadi pemicu munculnya banyak sekte, setelah beberapa dekade sebelumnya, perpecahan politiklah yang memicu munculnya firqoh dan sekte yang lain.

Dari berbagai macam firqoh yang ada, setidaknya dapat ditarik menjadi dua kutub besar yang sering kali saling berhadap-hadapan: Islam puritan dan Islam moderat. Yang menarik, kaum puritan—yang sering kali mengklaim diri sebagai modernis—sangat berambisi untuk “menyelamatkan” umat muslim dari “ketersesatan” dengan kembali pada tradisi kenabian. Mereka giat melakukan propaganda agar umat Islam kembali menjadikan Nabi Muhammad sebagai panutan. Mereka mengecam taklid terhadap madzhab dan mengajak umat kepada sumber pokok hukum Islam: Al-Qur’an dan hadits.

Yang menjadi kegelisahan kemudian adalah ketika Al-Qur’an dan hadits digunakan dengan serampangan dan membabi buta, sedangkan perbuatan meniru nabi dan para sahabat dilakukan dengan letterlijk dan tanpa ukuran. Tak heran jika mereka lebih senang memanjangkan jenggot daripada meneliti sikap keseharian dan akhlak nabi, atau sikap toleran dan penghormatan nabi kepada orang yang berbeda pendapat maupun keyakinan. Dan, kalaupun usaha-usaha yang lebih serius tersebut dilakukan, kerap kali—sekali lagi—mereka terjebak dalam kungkungan teks-teks turâts yang mati, tidak menafsirkannya dengan konteks yang ada. Atau terpenjara dalam kotak-kotak shahîh dan dha’if, hasan, dan maudhu’.

Sementara itu, di antara kalangan muslim moderat, terdapat kecenderungan lain yang tak kalah menggelisahkan. Yakni, munculnya pemikir-pemikir bebas yang kadang terkesan asal-asalan, hanya mencari sensasi, asal berbeda dengan status quo, atau terkesan tanpa dasar pengetahuan yang kuat.

Terlepas dari perdebatan dua kubu tersebut, buku ini ingin mengajukan gagasan yang mungkin selama ini luput dari perhatian kita semua. Yakni, tentang cara pikir nabi. Bagaimanakah cara nabi berpikir sehingga ia dapat memberikan jawaban yang berbeda untuk pertanyaan yang sama ketika pertanyaan tersebut dilemparkan oleh dua orang yang berbeda karakter? Bagaimana jalan pikir nabi sehingga suatu kali ia bersabda begini dan di kali lain bersabda begitu? Bagaimana ide-ide cemerlang meloncat dalam pikiran nabi sedemikian hingga dalam waktu kurang dari seperempat abad sudah berhasil meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi kecemerlangan peradaban Islam? Bagaimanakah cara nabi berpikir sehingga pikirannya tidak kebablasan dan menjadi kufur, misalnya?

Mungkin sebagian pembaca bertanya, apa benar nabi berpikir? Bukankah nabi selalu mendapatkan bisikan gaib dari Tuhannya? Bukankah kata-kata yang diucapkan oleh nabi merepresentasikan wahyu yang diterimanya? Tentu saja, Fauz Noor—penulis buku ini—telah menjawab pertanyaan-pertanyaan itu terlebih dahulu sebelum menguraikan panjang lebar bagaimana cara berpikir seperti nabi.

DOWNLOAD EBOOK

ISI BUKU

Pengantar Redaksi

ix

Pilahir Anu Sineulir

xiii

Daftar Isi

xxv

Isyarat Nabi dan Doktrin Penciptaan

1

 

Rasul pun Menangis

4

 

Doktrin Penciptaan

7

 

Penciptaan dalam Pencarian

13

 

Menangkap Isyarat: Sedikit Pembicaraan tentang “Tanda”

32

Mengapa Kita Mengimani dan Meneladani Nabi

55

 

Iman Kepada Nabi?

59

 

Muhammad Utusan Tuhan

86

 

Shalawat (Kepada) Nabi

95

Risalah: Dari Adam sampai Muhammad

109

 

Nabi dan Rasul

112

 

Risalah-Nya

119

 

Wahyu dan Manusia

137

 

Syari’at-Nya

156

 

Tauhid: Satu Tugas Mendesak

169

Muhammad: Penutup Para Nabi

195

 

Muhammad Nabi Pamungkas

200

Dari Mukjizat Kembali ke Ayat        

241

 

Hisiyyah dan ‘Aqliyyah

244

 

Al-Qur’an: Mukjizat, Sihir, atau Âyah?

270

Sunnah Nabi dalam Berpikir

293

 

Tentang-Nya: Berguru Kepada Para Nabi

298

 

Antara Hadits dan Sunnah Nabi

326

 

Sunnah dalam Berpikir

349

 

Ijtihad: Bahasa Sunnah Nabi

361

Perjalanan Menuju Kepasrahan: Mencari Filsafat Qur’ani

375

 

Pertemuan Dunia Islam dengan Filsafat: Pro dan Kontra

390

 

Dari ‘Itibar ke Hikmah

420

 

Perjalanan menuju Kepasrahan: Filsafat Qur’ani

439

 

Khulashah

465

Penutup

479

Daftar Pustaka

481

Indeks

497

Biodata Penulis

507



PRIMAGRAPHOLOGY TRAINING & CONSULTING

BUKU-BUKU ISLAM LAINNYA TENTANG PEMIKIRAN KRITIS ISLAM :

No comments:

Post a Comment