Sangat tidak mudah membuka
sebingkai kecil kesadaran umat Islam akan posisinya di ujung tebing kehancuran.
Konspirasi penghancuran oleh external power begitu rupa menjalar bagai
akar-akar tumor di sekujur tubuh; sementara pada saat yang sama internal power
umat Islam sama sekali tidak eling, sehingga tidak ada sinyal apapun dapat
dinyalakan untuk menyampaikan pesan darurat dan siaga satu.
Ironisnya, seorang Edward W.
Said, yang notabene adalah non-muslim, namun memiliki keperdulian sangat kuat
terhadap masa depan umat Islam, berangkat dari ujung runcing kondisi Palestina
yang meremukkan jiwa dan membangkitkan empati, dialah, yang meneriakkan keadaan
genting umat Islam sejak paruh pertama abad ini.
Sejak penerbitan buku “Covering
Islam”, dan kemudian buku monumentalnya “Orientalisme” mengungkapkan fakta yang
sangat kaya sebagai argumen paling meyakinkan untuk menunjukkan kepada umat
Islam akan perlunya langkah-langkah signifikan, berjangkauan luas, dan
berperspektif ke depan yang terjauh, untuk menyelamatkan satu setengah milyar
jiwa generasi Islam di dunia, sekaligus mempertahankan eksistensinya jauh dari
penghinaan sistematis musuh-musuhnya. Namun, anehnya, umat Islam sepertinya
tidak memberikan respons signifikan. Negara-negara Arab yang secara geneologis[1]historikal merupakan
penjaga dan pembela umat Islam dunia, pun masih bermain wait and see, dan
cenderung hanya menyelamatkan diri semata. Organisasi[1]organisasi
kerjasama negara-negara Islam yang telah lama terbentuk, seperti OKI dan
Rabithah Alam Islamiy, tumpul, sangat powerless. Seorang Annemarie Schimmel,
Islamisis Jerman, yang mengagumi tiga pribadi unggul Islam:Untuk itu, sudah
seyogianya kita berterima kasih kepada para filsuf. Hidup serasa bermakna
berkat amal jariah mereka berupa alat-alat berpikir, metode dan pendekatan yang
mereka ciptakan dan temukan sehingga menjadikan kehidupan kita berkualitas.
Tanpa filsafat, jangan harap kita dapat mengetahui dan menjelaskan siapa kita
sebenarnya. Muhammad SAW, Jalaluddin Rumi, dan Muhammad Iqbal, dia, membela
Islam melalui ribuan tulisannya, terutama pembelaan secara ilmiahnya melalui
karyanya “Dechipealaring the Signs of God: A Phenomenological Approach to
Islam.” Langkah pembelaan seperti ini diikuti pula oleh rekan-rekan sesama
pemerhati Islam, yakni Sachiko Murata, ilmuan yang berlatar belakang Timur
Jauh, Jepang, bersama suaminya William C. Chittick (yang kemudian mereka
memeluk Islam), membela Islam melalui berbagai karyanya, terutama melalui
penelitiannya mengenai Gender dalam perspektif Islam, yakni “The Tao of Islam:
A Sourcebook on Gender Relationship in Islamic Thought.”
Kalangan the Internal Power yang
ikut berbicara pun tidak memperoleh perhatian di kalangan penguasa
negeri-negeri Islam. Di antara mereka yang dapat kita sebut adalah Muhammad
Abduh, Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Abed Al-Jabiri, Abdullah Ahmad An-Nuaim,
Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zayd, hingga pendekar dari Indonesia Harun
Nasution, Munawir Sjadzali, Ahmad Baiquni, Hidayat Nataatmadja, Azumardi Azra,
Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, Kuntowidjoyo, Amin Abdullah, Armahedi Mazhar,
dan lain-lain. Mereka semua mengingatkan pentingnya pembaharuan pemikiran
Islam, untuk mengembalikan supremasi Islam dalam mengejawantahkan kehendak
Ilahi di alam semesta, yakni Islam rahmatan lil ‘alamin. Islam and muslims are
both in danger, bahkan al-Islam mahjubun bil_muslimin, pun sama sekali tidak
mereka sadari. Islam dan umat muslim di dunia hidup bagai dalam serpihan.
Di sebelah Edward W. Said, Hassan
Hanafi mengajukan proposal “Oksidentalism” (ilmul Istighrab), gerakan Kiri
Islam (al-Yasar al-Islamiy, atau Islamic Left), dan revitalisasi khazanah Islam
klasik (ihya’ at-Turats al-Islamiy), yang semuanya mencoba membuka mata ulama
dan cendekiawan muslim untuk menilik sisi-sisi lemah umat Islam selama ini, dan
selanjutnya Hassan Hanafi mencoba memberikan solusi paling fundamental untuk
merakit bangunan kemajuan Islam yang “ya’lu wa laa yu’laa alayh.” Dengan
Oksidentalisme, Hassan Hanafi mengajak umat Islam menghadapi barat secara
beradab, dan mungkin dalam pengertian perang peradaban, ghazwul fikr, namun
tidak seperti dikonseptualisasi secara tidak adil oleh Samuel Huntington,
dengan the clash of civilization-nya. Dengan proposal Revitalisasi Khazanah
Klasik Islam, Hassan Hanafi ingin mentransformasikan gaya dan energi juang umat
Islam dari berpacu mempertahankan romantisme-tak-produktif ke arah perjuangan
membangun kemajuan substantif di era modern. Umat Islam tidaklah cukup dengan
kebanggaan mengenang kehebatan dan keselarasan masa lalu, tanpa mempertahankan
dan meningkatkannya kini dan di masa depan. Di masa depanlah—yang di mulai dari
masa kini—nasib Islam dan umat Islam dipertaruhkan.
Dengan projek Kiri Islamnya,
Hassan Hanafi ingin menjebol secara beradab pula tembok penghalang kemajuan
umat Islam, yang justru, ironisnya, dibangun dengan sangat kuat oleh para ulama
tradisional. Yakni berupa statusquo dalam berbagai aspek dan lini kehidupan
umat. Kombinasi dari gerakan Revitalisasi Khazanah Klasik Islam dan gerakan
Kiri Islam, Hassan Hanafi berjuang menggeser pola kepenganutan umat Islam dari berteologi
Jabariyah[1]Asy-ariyah fatalis ke
teologi Qadariyah-Mu’tazilah yang dinamis, beralih dari berfiqh Syafi’iyyah
yang formalis ke fiqh Malikiyah dan Hanafiyah yang lebih rasionalis, dan
beralih dari model penafsiran tekstualis al-Qur’an ke tafsir kontekstual-hermeneutis
(at-ta’wil).
Di Indonesia, para pembaharu
Islam menyerukan perubahan cara ber[1]Islam yang lebih
modern, dinamis, berperadaban, berkemanusiaan, dan berke[1]indonesiaan
(tema-tema inti gagasan Nurcholish Madjid), ber-islam rasional (tonggak
dinamika Islam-nya Harun Nasution), ber-Islam secara substantif (Azyumardi
Azra), ber-Islam secara inklusif (Alwi Syihab), dan ber-Islam pluralis (Budhy
Munawar-Rachman), ber-Islam Aktual (Reaktualisasinya Munawir Sjadzali), dan
ber-Islam transformatif (M. Amin Rais). Gagasan-gagasan pembaharuan ke arah
dinamika dan kemajuan Islam dan umat Islam tersebut telah beberapa dekade
menjadi basis perubahan di Indonesia. Banyak cendekiawan muda potensial
menyadari pentingnya tipe baru pemahaman Islam, dan mereka yang merupakan
generasi kedua mencoba-kenalkan dan terapkan, terutama di kelangan terpelajar.
Merekalah kelas menengah yang diharapkan dapat memobilisasi pemikiran dinamis
Islam ke generasi berikutnya, yang dalam persentuhan awal, tentu akan
berbenturan dengan para pengawal dan penjaga tembok tebal fatalisme Islam di
kalangan umat Islam Indonesia, persis seperti pengalaman para pembaharu Islam
priode awal, yakni Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha di awal
abad modern Mesir, dan akhir abad 20 seperti dialami oleh Fazlur Rahman dan
Muhammad Arkoun, dan yang paling tragis adalah Nasr Hamid Abu Zayd. Beberapa
pembaharu Islam di Indonesia pun, sebagaimana pengalaman yang telah terjadi,
tidaklah bebas dari pengkafiran, dan fatwa halal-darah dari kalangan Islam
Kanan, Islam formalis, Islam tekstualis, dan jumudis.
Kendatipun tantangan mesti muncul
dan dihadapi, semangat Api Islam yang panas ini akan tetap dikobarkan nyala dan
baranya untuk mengasah dan memisahkan emas dari loyangnya, memisahkan Islam (formal-kelembagaan,
dengan “I” besar) yang mengedepankan islam (esensial-substantif, dengan “i”
kecil), dan yang akan membedakan “mereka yang berjuang (al-mujahidun)” dengan
“mereka yang duduk-duduk manis (al-qaidun)”.
Apa yang dicoba lakukan oleh
sekelompok kelas menengah yang menyumbang gagasan dalam buku ini, adalah
merupakan bagian dari perjuangan mengobarkan bara Api Islam dinamis dan
berperadaban sebagaimana yang dimaksudkan di atas. Tema-tema pokok dalam
tulisan ini adalah berasal dari tema-tema diskusi akademis pada kelas Studi
Islam Interdisipliner pada Program Doktor Pendidikan Bahasa Arab UIN Maliki
Malang. Saya sebagai pengampu matakuliah tersebut, pada intinya, mengajak
generasi muda menyadari rapuhnya posisi global umat Islam, terutama dalam
dimensi ilmiah-akademis, dan mengajaknya untuk menyatukan kembali
serpihan-serpihan dari proses fragmentasi umat Islam yang parah, untuk
mewujudkan keunggulan kembali Islam dalam bidang Ilmu pengetahuan dan
teknologi, yang berciri khas Islam, sesuatu yang masih dianggap mustahil,
bahkan oleh para pemuka umat Islam sendiri.
Kami secara bersama-sama menekuni sebuah bidang yang masih terasa asing ini, untuk maksud ikut serta memikirkan, atau melanjutkan gagasan para pembaharu muslim, untuk “thinking of the unthinkable in inslamic thought”, meminjam gagasan Muhammad Arkoun, yang dijadikan sebagai judul salah satu bukunya.
ISI BUKU |
||
PENGANTAR EDITOR |
Iv |
|
KATA PENGANTAR Dr. H. M. Samsul Hady, M.Ag. |
vii |
|
BAB I : KAJIAN ISLAM DAN ISLAMISASI SAINS |
|
|
A. |
Kajian
Islam dan Sains Modern -- Diana Nur
Sholihah . |
1 |
B. |
Kajian
Islam dalam Pendekatan Sosiologis -- Wira Purwata |
19 |
C. |
Islam
dan Teori Ekonomi Modern -- Suhardjo |
31 |
D. |
Islamisasi
Ilmu Pengetahuan (Landasan Filosofis
dan Tantangan yang Dihadapi) -- Masnun |
54 |
E. |
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Dunia Islam -- Helmi |
70 |
BAB II : EKSPERIMEN BARAT MEMBENTUK HUBUNGAN
SAINS DAN AGAMA |
|
|
A. |
Perjumpaan
Sains dan Agama dari Konflik ke Dialog (Prespektif John F. Haught) -- Ahmad Nurcholis |
90 |
B. |
Jejak
Tuhan dalam Sains (Perspektif Mehdi
Golshani) -- Sahkholid
Nasution |
101 |
C. |
Integrasi-Interkoneksi M. Amin
Abdullah (Telaah Paradigma
Epistimilogi Keilmuan dalam Studi Islam) -- Arif Widodo |
127 |
BAGIAN III : ISLAM DAN BARAT |
|
|
A. |
Sejarah
Perjumpaan Sains Islam dan Barat (Perspektif Hassan
Hanafi) -- Chusniah
Risnawati.. |
147 |
B. |
Islam
dan Pandangan Politik Barat -- Abdul Qodir.. |
164 |
C. |
Kajian
Islam dalam Perspektif Ilmuan Barat Non-Muslim -- MuhammadSolihin |
196 |
BAB IV : KRITIK TERHADAP SAINS BARAT |
|
|
A. |
Teologi
Antroposentrisme –Oksidentalisme:Paradigma
Epistemologi Hasan Hanafi dalam Proyek “Tradisi dan Pembaruan” -- Umar Faruq . |
209 |
B. |
Teologi
Anarkis: Basis Kritik Terhadap Sains Barat (Perspektif Hassan Hanafi) -- Ibnu Samsul
Huda |
239 |
C. |
Kritik
Terhadap Sains Barat (Perspektif Hidayat Nataatmadja) -- Achmad Tito Rusady |
253 |
BAB IV : HIERARKI NILAI REALITAS : PEMIKIRAN
AL-GHAZALI (1058 - 1111 M) |
|
|
A. |
Merumuskan
Epistemologi Islam (Perspektif Muhammad
Abed Al-Jabiri) -- Qomi Akit Jauhari |
269 |
B. |
Merumuskan
Paradigma Sains Islami (Revolusi Integralisme Islam Armahedi Mazhar) -- Khoiru Nidak |
292 |
C. |
Karakteristik
Sains Islam (Perspektif Osman
Bakar) -- M. Rizal Rizki |
309 |
DAFTAR PUSTAKA |
329 |
|
SEKILAS TENTANG PARA PENULIS |
346 |
|
SEKILAS EDITOR |
349 |
No comments:
Post a Comment