“Celupan Allah. Siapakah yang lebih baik celupannya daripada Allah ?”
[Q.S. Al-Baqarah / 2 : 138 ]
Abu Nawas bukanlah sosok yang
asing bagi masyarakat Indonesia. Kisah-kisah kocak Abu Nawas telah beredar
sekian lama dan sangat popular, terutama kisahnya dengan Khalifah Harun
Ar-Rasyid yang sering kena kick dari
si Abu Nawas. Singkat kata, Abu Nawas identic dengan karakter humoris, cerdik,
dan agak nakal. Dan kesan ini semakin diperkental oleh banyaknya buku kompilasi
humor Abu Nawas, juga pethilan-pethilan
humor di jagad internet yang digolongkan dalam humor sufi.
Berbeda dari biasanya, dalam buku
ini Anda akan berhadapan dengan sisi lain Abu Nawas. Di sini, Abu Nawas tampil
sebagai sosok sufi, yang dengan syair religiusnya mampu memicu kita untuk
kembali kepada-Nya dan menapak jenjang-jenjang ruhani yang lebih tinggi.
Jika kita baca catatan biografi
Abu Nawas, di masa mudanya ia terkenal karena puisinya yang jenakan dan
mengupas kehidupan perkotaan, terutama kenikmatan anggur (khamriyyat) dan humor cabul (mujuniyyat).
Corak puisinya yang “baru” ini, serta otaknya yang cemerlang menjadikan ia
tersohor, hingga akhirnya ia sempat menjadi penyair istana (syair al-bilad) Khalifah Harus
Ar-Rasyid. Pada periode inilah kiranya muncul kisah-kisah humor yang terkenal
hingga ke seluruh penjuru dunia.
Meski terkenal nakal,
sajak-sajaknya diakui sarat dengan nilai spiritual, juga cita rasa kemanusiaan
dan keadilan. Dalam al-Wasith fi al-Adab
al-‘Arabi wa Tarikhih misalnya, Abu NAwas digambarkan sebagai penyair
multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka
sastrawan angkatan baru. Ruh spiritual Abu Nawas semakin kental sesudah ia
mendekam di penjara. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi
yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah.
Kegemarannya melakukan maksiat di masa muda, memicu pencarian nilai-nilai
ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafsirkan sebagai jalan panjang menuju
Tuhan. Syair I’tirof yang amat
terkenal itu, merupakan bukti rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.
Sedemikian, buku ini menyajikan
puisi-puisi sufistik Abu Nawas, beserta penjelasan gamblang tentang kandungan
nilai puisi tersebut. Syair-syair Abu Nawas yang menyentuh hati ini diharapkan
bisa menjadi seteguk air penyejuk di tengan “Global
Warming Peradaban”, sebagai
pengingat bahwa hidup ini hanya singkat saja dan seyogianya tidak disia-siakan.
ISI BUKU |
|
Mukadimah |
7 |
Mengenal Abu Nawas |
11 |
Saudaraku, Bersiaplah Menuju Tuhanmu
|
19 |
Mulai Sekarang, Mari Hindari “si
Puncak Kemalangan” |
27 |
Siapkah Kita Menghadapi Hari
Perhitungan ? |
39 |
Mari Siapkan Dua Sayap Sakti Menuju
Ilahi |
47 |
Harapkan Ampunan-Nya, Saudaraku,
Tetapi Jangan Kau Tertipu |
53 |
Para Ulama yang Menangis Menjelang
Ajalnya |
71 |
Jika Engkau Dikuliti Hidup-Hidup,
Sakitnya Belum Setara Maut |
79 |
Bayangkanlah, Bagaimana Jika
Kiamatmu Tiba … |
93 |
Di Hadapan Maut, Kita Mesti Menangis
atau Tertawa ? |
99 |
Saudaraku, Dengarkanlah Percakapan
Lirih Tanah Pekuburan |
109 |
Mengintip Mahsyar, Sudahkah Kita
Bersiap ? |
117 |
Mabukkan Dirimu dalam Keelokan Tuhan |
129 |
Celupkan Kalbumu ke Samudera
Rindu-Nya |
135 |
Basuh Hatimu dengan Deburan
Cinta-Nya |
149 |
Saat Kiamat, Apa yang Mesti Diharap
Kecuali Rahmat-Nya ? |
157 |
Kata Akhir |
169 |
Daftar Pustaka |
175 |
Biodata Penulis |
177 |
BUKU-BUKU ISLAM LAINNYA TENTANG TASAWUF :
No comments:
Post a Comment