Buku ini memuat perbincangan yang
mungkin sekali ingin dihindari banyak orang. Kebanyakan orang hanya ingin
mendengarkan apa yang mereka sukai. Secara kejiwaan, manusia memang lebih
condong untuk meminati aspek yang emosional dan merasa nyaman dengan kebenaran
yang dianggap sudah mapan. Karena itu, sulit bagi banyak orang untuk menerima
versi kebenaran lain, walaupun di kemudian hari versi lain ini terbukti lebih
benar atau mendekati kebenaran.
Dan kemungkinan terburuk yang
saya bayangkan dari para pembaca perbincangan seperti ini adalah kecenderungan
untuk langsung bersikap a priori terhadap apa yang dikemukakan kepada mereka,
atau menganggap hal itu suatu tindakan kriminal. Yang lebih pahit lagi adalah:
ketika anda mengemukakan persoalan seperti itu, anda akan menjumpai penolakan dengan
tuduhan bahwa anda telah kafir dan terlalu mengagung-agungkan penggunaan akal.
Perbicangan kita ini sesungguhnya
adalah perbincangan tentang sejarah, walaupun saya tidak menganggap diri saya
sebagai spesialis di bidang sejarah atau seorang pakar di bidang itu. Namun,
saya merasa telah membaca sejarah secara tekun, menganalisisnya dengan cermat,
mengeceknya dengan teliti, dan tak jarang mengeritik logika yang terkadang
mengombang[1]ambingkan saya.
Percayalah bahwa saya tidak dapat menggerakkan pena kecuali untuk menulis
sesuatu yang memang dikendalikan oleh akal sehat saya. Saya juga tidak kuasa
untuk menggiring imajinasi saya terlalu jauh dengan tambahan-tambahan atau
pengurangan-pengurangan yang melampaui kebenaran sejarah.
Betapa banyak ahli sejarah ternama
yang tergiring ke arah itu. Mereka tidak menuliskan pena dan pemikiran mereka,
metode dan pembahasan mereka, kecuali hanya ke arah yang disenangi oleh para
pembaca. Mereka tidak peduli walaupun apa yang mereka lakukan merupakan
pengkhianatan terhadap sejarah, akal-budi, bahkan dokumen-dokumen sejarah
sekalipun.
Ini adalah perbincangan yang
tidak dapat saya elakkan karena begitu banyak orang-orang yang mengajak kita
kembali ke sistem khilafah dewasa ini. Bukan untuk kepentingan propaganda,
mengolok-olok atau pun mengejek, tetapi untuk kepentingan kecermatan dan
ketelitian dalam mengungkap kebenaran sejarah.
Karena itu, saya tergiring untuk
menyelami apa yang saya tahu dan dalami. Ini bukan semata-mata untuk kepentingan
menyangggah mereka dan bukan pula untuk kepentingan generasi sekarang yang
diharapkan mengetahui, menyelami, mengenal dan memperkenalkan, berpikir dan
membicarakan sejarah kita. Namun, ini adalah untuk kepentingan
generasi-generasi yang akan datang. Merekalah yang akan menilai kita walaupun
saat ini kita banyak diingkari dan dicemooh. Merekalah yang nantinya akan mampu
berpikir objektif, meskipun kini kita mungkin dicaci-maki. Mereka akan tahu
bahwa kita tidak kecut hati dan mundur karena alasan itu. Karena semakin giat
kita menggerakkan dan semakin cepat kita menggiring masyarakat untuk melangkah
menuju ke depan serta semakin banyak kita mengajak masyarakat untuk lebih giat
berpikir, mereka justru akan semakin harmonis di masa yang akan datang. Semakin
kita menghadap ke depan, masyarakat justru akan semakin siap untuk menatap masa
depan.
Perbincangan kita adalah
perbincangan tentang sejarah, politik, dan pemikiran, bukan perbincangan
tentang agama, keimanan, dan keyakinan. Ini adalah perbicangan tentang umat
Islam, bukan tentang Islam itu sendiri. Lebih dari itu, ini adalah perbincangan
seorang penelaah sejarah yang hidup di abad ke-20. Akan tetapi, ini adalah juga
perbincangan tentang peristiwa-peristiwa yang surut ke belakang sampai 13 abad
silam atau lebih. Perbincangan ini memang tampak sulit, jika bukan mustahil,
dilakukan oleh orang-orang yang hidup pada abad itu karena mereka bernaung pada
abad itu dan merasakan langsung peristiwa-peristiwa pada masa itu.
Perbincangan ini juga sulit
karena ingin membuka kembali apa yang selalu kita tutup-tutupi, yaitu
fakta-fakta sejarah. Tapi, perbincangan ini dapat pula menghidupkan kembali
organ tubuh yang selalu kita remehkan, yaitu akal. Perbincangan ini lebih
banyak menggunakan alat yang selalu kita abaikan, yaitu nalar. Perbincangan ini
juga sangat singkat, dan begitu ringkas. Di sini, yang sangat diperhatikan
bukanlah peristiwa-peristiwa sejarah itu sendiri, melainkan maksud dari sebuah
peristiwa.
Di sini kita ingin menegaskan
bahwa dengan wafatnya Rasulullah, periode Islam sesungguhnya telah sempurna dan
dimulailah kemudian periode umat Islam. Periode ini terkadang sangat mendekati
Islam, bahkan bertaut dengannya, namun tidak jarang pula sangat jauh dari
Islam, bahkan melarikan diri darinya. Karena itu, dalam setiap kondisi dan
periode, sejarah sama sekali tidak suci sehingga memungkinkan bagi seorang
pemikir untuk mendekatinya atau menganalisis setiap kejadian-kejadiannya.
Semua peristiwa dalam sejarah
dapat menjadi argumen bagi orang-orang yang menuntut berhukum dengan Islam,
atau sebaliknya, justru dapat menjadi bumerang bagi mereka. Fakta-fakta sejarah
dapat menjadi senjata mereka atau justru senjata yang akan melukai mereka.
Tidak ada argumen yang lebih kokoh selain fakta sejarah, landasan peristiwa,
dan dalil faktanya. Karena itu, tidak seorang pun berhak mengingkari
referensi-referensi yang kita rujuk. Semuanya adalah referensi yang juga
digunakan oleh orang-orang yang merasa itu berada di pihak mereka.
Karena itu, perbincangan ini bersandar pada landasan sejarah dan referensi yang setara dengan yang digunakan oleh orang lain dengan sudut pandang yang berbeda.
ISI BUKU |
||
Pengantar Penerbit |
v |
|
Kata Pengantar Edisi Terjemahan |
ix |
|
Mukadimah |
1 |
|
Bab I |
Kebenaran yang Hilang |
7 |
Bab II |
Pembacaan Baru terhadap
Sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun |
61 |
Bab III |
Pembacaan Baru terhadap
Sejarah Umayyah |
123 |
Bab IV |
Pembacaan Baru terhadap
Sejarah Abbasiyah |
159 |
Bab V |
Penutup : Lalu Apa |
241 |
Daftar Pustaka |
259 |
|
Epilog 1 |
261 |
|
Epilog 2 |
263 |
No comments:
Post a Comment