Gagasan mengenai kebangkitan
Islam (an-nahdah al-Islâmiyyah) di dunia Arab-Islam telah mengantarkan kaum
muslimin kepada tiga persoalan utama, yakni sikap terhadap tradisi Islam, sikap
terhadap tradisi Barat, dan sikap terhadap realitas kekinian. Ketiga persoalan
ini, pada gilirannya, menjadi positioning sikap kultural yang menjadi poros
perbincangan, perdebatan, dan pencarian para intelektual Arab kontemporer dalam
upaya penggalian otentisitas tradisi yang diandaikan menjadi spirit dalam
menghadapi realitas kekinian umat Islam (al-ashâlah wa al-mu’âsarah).
Berbagai eksperimentasi telah
dilakukan, baik pada ranah politik maupun kebudayaan. Meskipun demikian,
pandangan yang dominan dalam menyikapi ketiga persoalan di atas, kalau tidak
apologis dan ideologis maka cenderung bersifat a-historis. Ini tampak pada
frame works kalangan yang disebut tradisionalis dan fundamentalis. Kelompok ini
beranggapan bahwa formula kebangkitan harus berpijak pada ranah tradisi.
Mempertahankan tradisi, praktik dan pemikiran Islam klasik serta
meresonansikannya untuk kembali pada ajaran Islam klasik secara total, dalam
pandangan kelompok ini, merupakan suatu kebutuhan bagi kebangkitan Islam.
Demikian juga halnya dengan
kalangan yang disebut modernis dan sekular. Kelompok ini mengusung asumsi yang
berkebalikan dari kelompok tradisionalis. Mereka beranggapan bahwa formula
kebangkitan Islam harus mengambil dari tradisi Barat, karena Islam dianggap
tidak mengatur secara mendetil masalah-masalah kenegaraan selain hanya
nilai-nilai universalnya saja, seperti keadilan, persamaan, musyawarah, dan
seterusnya.
Dalam arena inilah, Hassan
Hanafi, seorang intelektual muslim yang namanya sudah sangat populer di tengah
wacana keislaman di tanah air, secara serius dan konsisten, yang disertai
dengan dedikasi keilmuan yang tinggi dan tanpa lelah berusaha untuk keluar dari
jebakan sikap apologetik-ideologis dan a-historis dari kecenderungan dua
kelompok di atas. Baginya, kebangkitan Islam tidak akan terwujud dengan hanya
menonjolkan satu sikap kultural dan mengesampingkan dua sikap kultural yang
lain, melainkan harus berpijak dalam keseimbangan pada ketiga sikap kultural di
atas.
Menurut Hassan Hanafi,
ketidakseimbangan di dalam sikap kultural, hanya akan menyebabkan pupusnya
kesatuan identitas (wahdah asy-syakhshiyyah) dan “keretakan yang payah” di
kalangan bangsa Arab sendiri, sehingga peradaban-peradaban, metode-metode
pendidikan dan aliran-aliran politik saling berbenturan, yang pada gilirannya
hanya mengakibatkan kesatuan nasional dan identitas kebangsaan menjadi hancur.
Buku yang ada di tangan pembaca
ini merupakan salah satu eksplorasi kegelisahan Hassan Hanafi terhadap tiga
sikap kultural yang tidak imbang, yang ada dalam kebudayaan Arab-Islam,
terutama di ranah kajian filsafat. Sebuah identifikasi persoalan yang ia sebut
dalam kerangka besar pemikirannya sebagai bagian dari “problemproblem
kontemporer”.
Agak sedikit berbeda dengan karya
Hassan Hanafi yang telah kami terbitkan sebelumnya, yakni: Islamologi 1: dari
Teologi Statis ke Anarkis; Islamologi 2: dari Rasionalisme ke Empirisisme; dan
Islamologi 3: dari Teosentrisme ke Antroposentrisme, yang lebih banyak
berbicara tentang persoalan-persoalan keislaman secara umum, seperti teologi,
ushul fiqh, filsafat, tasawauf, dan kesadaran sosial umat Islam, maka di dalam
buku ini, Hassan Hanafi lebih memfokuskan kajiannya pada persoalan-persoalan
filsafat di dunia Islam dan Barat. Namun demikian, kajian-kajian yang dilakukan
oleh Hassan Hanafi (hampir di dalam seluruh karyanya) tentu memiliki
keterkaitan yang erat. Dalam buku ini, dia mengungkapkan betapa filsafat tengah
mengalami puncak krisis di tengah-tengah masyarakat Arab-Islam. Filsafat yang
seharusnya merefleksikan sebuah generasi dan peradaban, saat ini, menurutnya,
justru telah menjadi dokumen dan artefak beku yang terus-menerus dibaca dan
dipelajari, namun tanpa upaya mendialogkannya dengan realitas kekinian.
Filsafat hanya “pajangan” pemikiran tanpa disertai pembacaan kritis dan kreatif
terhadapnya.
Dengan demikian, filsafat seperti
kehilangan konteks. Ia dianggap sebagai warisan tradisi yang taken for granted
dan final serta terlepas dari konteks zamannya. Mempelajari filsafat, pada
akhirnya hanya terperangkap dalam penjara-penjara pemikiran para filsuf, tanpa
mengalami transformasi pemikiran dalam realitas sosial. Filsafat hanya menjadi
alat analisis sosial bagi kaum intelektual dan sebagai eskapisme dari tanggung
jawab intelektual mereka.
Kondisi di atas, menurut Hassan
Hanafi, makin diperparah dengan menguatnya pandangan yang mengatakan bahwa
‘filsafat’ bersumber dari Barat, bukan dari tradisi, karena di dalam tradisi,
istilah filsafat tidak populer. Istilah yang dikenal dalam tradisi adalah
‘hikmah’. Karena pemahaman seperti inilah maka terjadi dualisme dalam melihat
realitas kekinian di negara-negara Arab-Islam.
Bagi Hassan Hanafi, baik tradisi
maupun Barat dalam pemikiran filsafat harus dilihat dalam konteks dan semangat
zaman sehingga tradisi tidak menjadi stagnan, dan Barat bukan menjadi acuan
tanpa sikap kritis, melainkan harus dilihat dalam batas-batas peradaban dan
kelahiran pemikiran-pemikiran filosofis tersebut (baca: oksidentalisme).
Kehadiran buku ini, ke tengah
pembaca yang budiman, adalah untuk memperkaya kajian-kajian keislaman,
khususnya kajian filsafat, di tanah air. Selain itu, buku ini juga diharapkan
bisa menjadi “teman” refleksi terhadap problem kekinian kita yang kurang lebih
juga sama dengan yang dihadapi oleh masyarakat Arab-Islam. Yang jelas, buku ini
sangat berguna bagi para mahasiswa dan para peminat kajian filsafat dan
ilmu-ilmu sosial.
ISI BUKU |
||
Pengantar Redaksi |
v |
|
Pengantar Penerjemah |
ix |
|
Pengantar Penulis untuk Cetakan Pertama |
xxv |
|
Daftar Isi |
xxvii |
|
BAB I : SIKAP
KULTURAL KITA |
1 |
|
1. |
Pengantar |
1 |
2. |
Tiga Macam Sikap Kultural |
4 |
3. |
Krisis Sikap Kultural |
6 |
4. |
Sikap Terhadap Tradisi Klasik |
17 |
5. |
Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat |
38 |
6. |
Sikap Terhadap Realitas |
51 |
7. |
Penutup |
60 |
BAB
II : TRADISI
DAN KEBANGKITAN PERADABAN |
65 |
|
1. |
Tradisi Diri (Autonomous) |
66 |
2. |
Tradisi Yang Lain (Heteronomous) |
85 |
3. |
Kebangkitan Peradaban |
101 |
BAB
III : FILSAFAT
DAN TRADISI |
117 |
|
1. |
Pengantar : Makna Filsafat dan Tradisi |
117 |
2. |
Krisis “Filsafat dan Tradisi” |
122 |
3. |
Konteks Krisis |
125 |
4. |
Perubahan Konteks-Konteks Zaman |
140 |
5. |
Perkembangan Filsafat : Wacana “Yang Lain”
di sisi Subjek “Diri” |
152 |
6. |
Perkembangan Filsafat : Dari Anotasi
dan Sinopsis Menuju Uraian dan Penyusunan Karya |
158 |
7. |
Tiga Konstruksi Filsafat : Hilangnya
Manusia dan Sejarah |
169 |
8. |
Penutup : Tanggung Jawab Siapa? |
174 |
BAB
IV : TRADISI
DAN PERUBAHAN SOSIAL |
177 |
|
1. |
Macam-Macam Kelompok Manusia Menurut
Tradisinya |
177 |
2. |
Model Tradisi |
179 |
3. |
Beberapa Cacat Model Non-Tradisional |
184 |
4. |
Model Rekonstruksi Tradisi |
189 |
5. |
Beberapa Ketakutan dan Prasangka |
198 |
BAB
V : TRADISI
DAN PRAKTIK POLITIK |
203 |
|
1. |
Pengertian Tradisi dan Praktik Politik |
203 |
2. |
Ilmu Pengetahuan Tradisional dan Rintangan-Rintangan
Praktik Politik |
208 |
3. |
Ideologi-Ideologi Tradisional dan
Posisi-Posisi Praktik Tradisional |
225 |
4. |
Penutup-Tuntutan Rekonstruksi
Tradisi |
235 |
BAB
VI : KEGAGALAN
REFORMASI (STUDI KASUS MESIR) |
237 |
|
1. |
Pengantar : Menjelaskan Kegagalan |
237 |
2. |
Sikap Terhadap Tradisi (Al-Qadim) |
243 |
3. |
Sikap Terhadap Barat |
246 |
4. |
Sikap Terhadap Realitas |
250 |
5. |
Penutup : Kesadaran Historis |
253 |
BAB
VII : PEMIKIRAN
ISLAM DAN RANCANGAN SIKLUS PEMIKIRAN KEBUDAYAAN MASA DEPAN |
255 |
|
1. |
Pengantar : Definisi Terminologi |
255 |
2. |
Sejauhmana Komkesatuan Arab dalam
Nilai-Nilai Masa Depan, Sistem-Sistem dan Doktrin- Doktrinnya Diinspirasikan
oleh Prinsip-Prinsip dan Spiritualitas Islam |
266 |
3. |
Sejauhmana Kontribusi Pemikiran
Islam Kontemporer menghadapi Tuntutan-Tuntutan, Pr oblematika dan
Tantangan-Tantangan Zaman |
281 |
4. |
Sejauhmana Kapasitas Pemikiran Islam
Mengangkat Masa Depan yang Lebih Baik, Pencarian Cakrawala-Cakrawala dan
Apresiasi Metode-Metode Transformasi Ide-Ide Pemikiran ke Realitas yang
Signifikan-Aplikatif |
293 |
5. |
Penutup |
306 |
BAB
VIII : MUNGKINKAH
ANALISIS “JATI DIRI ARAB-ISLAM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP BANGSA ARAB” BERASAL
DARI KERANGKA TEORITIK DAERAH DALAM BINGKAI KACA MATA BARAT ? |
309 |
|
1. |
Pengantar : Rujukan Sebagai
Pembacaan |
309 |
2. |
Objek dan Metode |
311 |
3. |
Bab-Bab Utama |
314 |
4. |
Mesir dan Tunisia |
317 |
5. |
Timur Arab (Al-Masyriq Al ‘Arabi) dan Barat
Arab (Al-Maghrib Al ‘Arabi) |
322 |
6. |
Urabisme dan Palestina |
325 |
BUKU-BUKU ISLAM LAINNYA TENTANG FILSAFAT :
No comments:
Post a Comment